Selasa, 22 Januari 2008

Pewilayahan Komoditi berbasis Iklim

Pewilayahan potensi komoditas tanaman dapat menggunakan pendekakan pewilayahan agroekologi, yang merupakan pendekatan komprehensif untuk memetakan potensi wilayah. Pewilayahan agroekologi dimaksudkan guna mengetahui daya dukung kondisi fisik dan lingkungan Kabupaten Kotawaringain terhadap pengembangan budidaya komoditas pertanian tanaman pangan. Aspek-aspek lingkungan fisik yang dikaji adalah aspek iklim, tanah (fisik dan kimia) dan struktur topografi wilayah. Ketiga aspek tersebut dapat menjadi faktor pendukung maupun faktor pembatas bagi usaha pengembangan sektor pertanian.

Pengkajian terhadap ketiga aspek tersebut akan menghasilkan tingkat kesesuaian pertumbuhan dan perkembangan komoditas padi di lokasi tertentu. Tingkat kesesuaian yang dihasilkan merupakan integrasi dari ketiga aspek yang masing-masing memberikan tingkat atau bobot penilaian yang berbeda sesuai dengan jenis komoditas dan sensitivitas pertumbuhan dan perkembangan terhadap tiga aspek tersebut. Penilaian terhadap tingkat kesesuaian ini kemudian dipetakan guna menghasilkan peta kesesuaian yang disebut dengan peta kesesuaian agroekologi, sehingga dapat diketahui kemampuan daya dukung lingkungan fisik suatu wilayah terhadap usaha-usaha pengembangan komoditas tertentu. Berdasarkan pemetaan ini juga dilakukan perhitungan luas kesesuaian lahan untuk tanaman padi di tiap kecamatan dan desa, sehingga akan memudahkan dalam menentukan kawasan prioritas pengambangan budidaya padi sawah. Gambar 1 menjelaskan proses penyusunan peta kesesuaian agroekologi.

Sisi Lain Perubahan Iklim

Perubahan iklim telah menjadi fenomena baru

Penyusunan Model Spasial untuk Prediksi Lingkungan Sebaran Malaria

Faktor ketinggian tempat (altitude), kemiringan lereng (slope) dan penggunaan lahan (LandUsed) mempengaruhi tempat perindukan nyamuk. Sedangkan unsur cuaca mempengaruhi metabolisme, pertumbuhan, perkembangan dan populasi nyamuk Anopheles tersebut. Suhu 18°C merupakan suhu yang paling rendah dibutuhkan larva nyamuk di daerah tropis sedangkan suhu 36°C selama 2 bulan berturut-turut dapat mematikan semua larva nyamuk. Curah hujan dengan penyinaran yang relatif panjang turut mempengaruhi habitat perindukan nyamuk. Pemahaman dan analisis data lingkungan dan unsur cuaca tersebut dapat digunakan untuk mengetahui pola penyebaran vektor malaria dan menduga populasi vektor malaria. Kombinasi kedua faktor tersebut dapat digunakan dalam penyusunan rancangan model spasial untuk membantu memprediksi pola penyebaran malaria disuatu daerah. Overlay data lingkungan (altitide, slope dan LandUsed) digunakan untuk menduga zona risiko malaria. Sedangkan prediksi jumlah kasus malaria dimodelkan menggunakan robust regresi Poisson dengan input suhu rata-rata minimum mingguan, suhu rata-rata maksimum mingguan serta jumlah curah hujan rata-rata mingguan dengan PDL (Polynomial Distribution Lag) of weather di lokasi studi (Sukabumi). Arithmetic Overlay antara zona risiko dan prediksi kasus malaria menunjukkan zona risiko lonjakan kasus malaria tiap bulan di Kabupaten Sukabumi. Zona risiko tinggi terkonsentrasi di daerah pantai. Sedangkan zona tidak berisiko (non risk) terkonsentrasi di daerah pegunungan. Zona risiko malaria tersebut signifikan mempengaruhi jumlah kasus malaria di Kabupaten Sukabumi (r = 0.967). Prediksi kasus malaria tiap bulan di Kabupaten Sukabumi menggunakan robust regresi Poisson dengan PDL of weather 6 lag untuk suhu udara rata-rata dan 7 lag untuk curah hujan. Sebaran prediksi kasus malaria tersebut signifikan (r > 0.885) menunjukkan jumlah kasus tertinggi terjadi di daerah pantai dan jumlah kasus terendah terjadi di daerah pegunungan. Sebaran lonjakan kasus malaria tertinggi juga terjadi di daerah pantai dan terendah di daerah pegunungan. Sedangkan pola sebaran lonjakan mengikuti pola curah hujan bulanan di Kabupaten Sukabumi. Interaksi antara data lingkungan dan unsur cuaca terhadap siklus perindukan dan metabolisme nyamuk merupakan faktor utama dalam memprediksi jumlah kasus malaria. Peringatan dini dapat dilakukan 1-1,5 bulan sebelum terjadinya lonjakan zona kasus malaria tinggi (high risk) di Kabupaten Sukabumi.

Sebaran Daerah Endemis Malaria di Kabupaten Sukabumi

Daerah Sukabumi merupakan daerah endemis malaria (www.depkes.go.id). Hal ini disebabkan oleh kondisi lingkungan Kabupaten Sukabumi yang cocok untuk perindukan dan perkembangbiakan nyamuk Anopheles sp. Ada 4 jenis Anopheles yang hidup di daerah Sukabumi yaitu Anopheles sundaicus yang hidup di daerah laguna/tepi pantai, Anopheles aconicus yang hidup di daerah gunung, Anophles maculatus yang hidup di sawah, dan Anopheles barbirostisyang hidup di hutan. Pola penyebaran nyamuk Anopheles tidak merata di Kabupaten Sukabumi. Sebagian besar penyebaran nyamuk tersebut terkonsentrasi di daerah pesisir pantai dan persawahan, seperti Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan dan Desa Langkapjaya, Kecamatan Lengkong. Desa Kertajaya, Kecamatan Simpenan merupakan daerah endemis malaria yang terletak di wilayah pantai. Di desa tersebut banyak terdapat laguna di tepi pantai; sebagai tempat perindukan vektor Anopheles Sundaicus. Sedangkan di Desa Langkapjaya, Kecamatan Lengkong terdapat banyak kubangan air di wilayah egunungan sebagai tempat perindukan vektor Anopheles Maculatus (www.depkes.go.id). Sebaran nyamuk Anopheles di Kabupaten Sukabumi ditunjukan pada Gambar 1.

Luasan penutupan lahan di kawasan endemis malaria Kabupaten Sukabumi sebagian besar merupakan sungai (52.14%). Kawasan ini menyebar di Kecamatan Pelabuhan Ratu. Kondisi tersebut menunjukkan bahwa tempat perindukan nyamuk Anopheles umumnya berpusat di kecamatan tersebut. Sawah merupakan luasan yang terkecil di kawasan endemis malaria. Penyebaran sawah di Kabupaten Sukabumi sebagian besar berpusat di sebelah utara Kabupaten Sukabumi. Luasan penggunaan lahan di daerah endemis Kabupaten Sukabumi dapat dilihat secara terperinci pada Tabel 1.

Interaksi Kasus Positif Malaria terhadap Lingkungan

Analisis spasial dengan menggunakan model-model yang digunakan dalam penelitian ini didapatkan bahwa kasus positif malaria tiap desa terhadap luas pemukiman penduduk serta luas perindukan dan habitat nyamuk, didapat korelasi masingmasing sebesar 64,6% dan 15,9%, seperti ditunjukan oleh Gambar 2 (a). Luasan pemukiman di daerah perindukan nyamuk signifikan menggambarkan hubungan kerapatan kasus positif malaria tiap desa perindukan . Hal tersebut diduga tedapat jarak yang dekat antara tempat perindukan nyamuk dengan pemukiman penduduk. Penduduk yang tinggal di daerah perindukan nyamuk akan mudah terserang malaria. Kontak langsung penduduk terhadap vektor nyamuk (di daerah perindukan) relatif sering terjadi. Kondisi tersebut dapat meningkatkan jumlah penderita malaria di desa perindukan nyamuk tersebut.

Pengaruh luas perindukan nyamuk tidak signifikan mempengaruhi kerapatan kasus positif malaria di desa perindukan. Kondisi ini menunjukkan bahwa luas perindukan nyamuk tidak mampu memberikan hubungan linear terhadap kerapatan kasus positif malaria tiap desa. Hal tersebut disebabkan oleh luas perindukan tanpa memperhatikan luas pemukiman penduduk; sebagai host parasit malaria dan sumber darah vektor malaria, tidak memberikan hubungan yang nyata terhadap jumlah kasus ataupun kerapatan kasus malaria di desa tersebut. Jelajah (jarak terbang) nyamuk di Kabupaten Sukabumi mempengaruhi luas perindukan dan habitat nyamuk. Jelajah nyamuk 3 mil memiliki luas perindukan dan habitat nyamuk paling besar dibandingkan dengan luas perindukan dan habitat dengan jelajah nyamuk 1 mil dan 2 mil. Luas pemukiman pada jelajah nyamuk 3 mil, juga paling besar dibandingkan luas pemukiman pada jelajah 1 mil dan 2 mil. Kondisi tersebut menyebabkan hubungan luas pemukiman terhadap kepadatan kasus tiap desa perindukan semakin kecil atau menjadi tidak signifikan dengan bertambahnya jelajah nyamuk. Kontak langsung antara vektor malaria terhadap penduduk semakin berkurang atau jarang terjadi. Kondisi tersebut mengindikasikan adanya penurunkan jumlah penderita malaria di desa perindukan (berdasarkan karakteristik lingkungan).

Peningkatan luas pemukiman di desa perindukan juga mengindikasi semakin tingginya faktor sosial-ekonomi dan migrasi mempengaruhi penyebaran kasus positif malaria. Kondisi tersebut menyebabkan hubungan luas pemukiman terhadap kasus malaria di desa perindukan semakin tidak nyata (R2 semakin kecil) pada penambahan jelajah/jarak terbang vektor malaria. Faktor sosial-ekonomi dan migrasi penduduk diduga memberikan pengaruh dominan terhadap penyebaran kasus positif malaria setiap penambahan jelajah nyamuk.

Zona Risiko Malaria Berdasarkan Unsur Lingkungan

Pola spasial malaria berperan untuk mengetahui penyebab insiden malaria di suatu wilayah berlangsung secara konsisten dalam kurun waktu tertentu. Peta risiko malaria yang dibuat secara tumpang susun di atas peta tata ruang dan penutupan lahan (LandUsed) dan di atas peta topografi dan hidrologi akan memberikan informasi untuk mencermati keterkaitan malaria dengan variabel lingkungan. Keterkaitan antara pola penyebaran malaria dan variabel lingkungan dalam kurun waktu tertentu, mengindikasikan penyebaran kawasan endemis malaria. Penentuan zona risiko malaria juga berdasarkan pada pemahaman epidemiologi vektor malaria dan ekologi nyamuk Anopheles sp. (Wibowo, 2005). Ketinggian tempat (altitude), Kemiringan lereng (slope) dan penggunaan lahan (LandUsed) merupakan variabel lingkungan yang dominan mempengaruhi pola penyebaran perindukan dan habitat nyamuk. Ketiga variabel tersebut memberikan pengaruh yang berbeda-beda terhadap populasi nyamuk dan pola penyebaran perindukan nyamuk di Kabupaten Sukabumi. Kisaran parameter lingkungan tersebut dibatasi oleh batas atas dan batas bawah dari masing-masing parameter lingkungan. dimana penutupan lahan (LandUsed; t=1), ketinggian (altitude; t=2), dan kemiringan lereng (slope; t=3). Parameter-parameter lingkungan tersebut dikombinasikan dengan menggunakan Boolean Operator pada sistem koordinat kartesius

Penentuan kawasan endemis malaria membantu dalam penentuan zona risiko malaria. Hal ini disebabkan oleh kesamaan variabel lingkungan sebagai input dalam menentukan kawasan endemis malaria maupun zona risiko malaria. Penularan malaria dominan dipengaruhi oleh altitude. Hal tersebut berdasarkan pada peranan altitude mempengaruhi distribusi suhu udara; yang mempengaruhi proses metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan nyamuk (Ward, 1992 dalam Saleh, 2002). Semakin rendah ketinggian suatu tempat mengindikasikan semakin tinggi suhu udara di tempat tersebut dan sebaliknya, semakin tinggi ketinggian suatu tempat mengindikasikan semakin rendah pula suhu udara. Interval suhu udara di dataran rendah (khususnya daerah pantai) di Kabupaten Sukabumi merupakan kisaran suhu udara optimum bagi metabolisme, pertumbuhan dan perkembangan nyamuk Anopheles. Sedangkan kisaran suhu udara di dataran tinggi (khususnya pegunungan) merupakan batas bawah untuk metabolisme dan perkembangbiakan nyamuk.

Data lingkungan (Slope dan LandUsed) mempengaruhi distribusi habitat dan tempat perindukan nyamuk. Sawah, tambak dan laguna merupakan tempat perindukan nyamuk yang utama. Kondisi lahan tersebut memberikan tempat aman bagi nyamuk untuk bertelur sehingga dapat berkembang biak dengan baik. Kondisi kemiringan lereng (slope) turut mempengaruhi populasi vektor malaria. Lereng terjal memiliki aliran arus air yang besar; dapat mempengaruhi perkembangan telur. Aliran air yang deras akan merusak telur nyamuk. Hal ini menyebabkan jumlah populasi nyamuk di lahan sawah di perbukitan akan jauh lebih kecil dibandingkan populasi nyamuk di lahan sawah pada dataran rendah/ landai

Pengaruh altitude dalam penentuan zona risiko malaria merupakan pengaruh dominan (46%). Hal tersebut didukung oleh pemahaman pengaruh altitude terhadap distribusi suhu untuk metabolisme dan pertumbuhan serta perkembangan nyamuk. Sedangkan pengaruh kemiringan lereng dan penggunaan lahan mempengaruhi jumlah populasi nyamuk. Kemiringan lereng (slope) dapat mereduksi jumlah vektor malaria, sedangkan penggunaan lahan (LandUsed), meningkatkan jumlah vektor nyamuk. Hubungan penggunaan lahan dan kemiringan lereng terhadap jumlah populasi nyamuk Anopheles saling berkaitan. Hal ini mengindikasikan bahwa persentase pengaruh penggunaan lahan dan kemiringan lereng terhadap penentuan zona risiko malaria hampir sama.

Pengaruh peta lingkungan dalam penentuan zona risiko malaria di Kabupaten Sukabumi berbeda dengan daerah lain. Hal ini dipengaruhi oleh distribusi jenis nyamuk yang dominan pada masing-masing daerah, sehingga penentuan tempat perindukan dan habitat nyamuk pada masing-masing daerah akan berbeda pula. Pengaruh variabel lingkungan terhadap penentuan zona risiko malaria di masing-masing daerah akan lebih baik berdasarkan kegiatan surveilens (Wibowo, 2005). Pembobotan dari masing masing peta lingkungan yang di-overlay akan menghasilkan peta zona risiko malaria sesuai kondisi lingkungannya, seperti ditunjukan pada Gambar 3. Overlay sebaran zona risiko malaria terhadap sebaran kasus malaria di Kabupaten Sukabumi menunjukkan sebagian besar kasus positif malaria berpusat di zona risiko malaria yang tinggi. Hubungan zona risiko malaria terhadap kerapatan kasus menunjukkan hubungan linear yang positif (93,5%), seperti ditunjukan pada Gambar 4. Kondisi ini menunjukkan bahwa kombinasi peta lingkungan (altitude, slope, LandUsed) dapat mempengaruhi kerapatan kasus di daerah tersebut.

Pemodelan Numerik Prediktor dan Kasus Malaria

Pendugaan kasus malaria di Kabupaten Sukabumi didasarkan pada pemahaman siklus hidup malaria. Regresi Poisson dengan kemunduran waktu dari suhu maksimum rata rata mingguan, suhu minimum rata-rata mingguan dan jumlah curah hujan mingguan, dapat membantu memprediksi jumlah kasus malaria yang terjadi di Kabupaten Sukabumi. Interval lag model dari regresi Poisson disesuaikan dengan kondisi cuaca di Kabupaten Sukabumi. Suhu minimum dan suhu maksimum rata-rata di Kabupaten Sukabumi dijadikan sebagai batas atas dan batas bawah PDL of weather, sehingga robust regresi Poisson untuk Kabupaten Sukabumi secara matematis dinyatakan dengan persamaan matematis.
Sedangkan penentuan PDL of weather) sebagai input permodelan numerik kasus malaria ditentukan berdasarkan uji coba tiap penambahan lag. Perbandingan model numerik prediktor kasus malaria berdasarkan penambahan lag ditunjukkan pada Gambar 5. Pola regresi Poisson pada Gambar 5 (a, b, c dan d) menunjukkan bahwa lag mingguan dari suhu udara maksimum dan minimum serta curah hujan, secara signifikan mempengaruhi jumlah kasus malaria (korelasi > 0,885). Sedangkan koefisien dari masing masing lag minggu pada suhu udara dan curah hujan tidak signifikan. Kondisi ini disebabkan oleh sifat multikolinearitas dari masing masing unsur yang saling mempengaruhi. Lag suhu udara maksimum dan minimum rata-rata minggu ke i secara signifikan mempengaruhi lag suhu udara maksimum dan minimum rata rata minggu ke i+1. Lag curah hujan minggu ke i juga mempengaruhi lag curah hujan minggu ke i+1. Multikolinearitas juga terjadi antara unsur cuaca (suhu maksimum, suhu minimum dan curah hujan). Masing-masing unsur saling mempengaruhi unsur lainnya. Reduksi multikolineritas diduga dapat meningkatkan keeratan model Poisson terhadap kasus malaria dan mengurangi keeratan antar unsur cuaca. Kondisi ini menyebabkan model Poisson untuk memprediksi malaria hanya empirik berlaku untuk daerah sampel saja, tetapi tidak berlaku untuk daerah yang lain yang memiliki kimiripan unsur yang sama pada satuan wilayah tertentu. Reduksi model Poisson di Kecamatan Pelabuhan Ratu (sebagai sampel model) menyebabkan pendugaan kasus malaria di Kecamatan Simpenan tidak cocok digunakan. Kondisi ini disebabkan oleh βst (parameter dari tempat S pada minggu ke t ) di Pelabuhan Ratu diikutsertakan dalam model Poisson. Penggunaan reduksi maupun induksi βst di suatu daerah juga masih dipertimbangkan (Teklehaimanot et al., 2004).
Kemunduran suhu minimum dan suhu maksimum 6 minggu sebelum kejadian (lag 6 T) dan 7 minggu pada urah hujan (lag 7 CH) pada Gambar 5(c) di Kabupaten Sukabumi merupakan lag unsur cuaca yang signifikan (r=0.898) yang digunakan untuk model regresi Poisson. Lag 6 minggu untuk suhu udara rata rata dan lag 7 minggu untuk curah hujan merupakan lag yang ideal untuk asumís pendugaan umur nyamuk dari fase telur hingga masa inkubasi di tubuh manusia. Suhu rata-rata tahunan di Kabupaten Sukabumi sebesar 24.4°C menyebabkan waktu yang diperlukan nyamuk dari fase telur ke fase dewasa hingga masa inkubasi di tubuh manusia menjadi penyakit malaria di dalam tubuh manusia adalah 6 minggu. Pada suhu tersebut, nyamuk memerlukan waktu 1-3 hari dari fase telur ke larva, 10-18 hari dari fase larva menjadi dewasa, 8-6 hari masa infeksi Plasmodium sp. dan 10-16 hari dalam tubuh manusia untuk inkubasi. Sebaran prediksi kasus malaria tiap bulan dengan regresi Poisson dengan PDL of weather di Kabupaten Sukabumi ditunjukkan oleh Gambar 6.
Pola penyebaran prediksi kasus positif malaria di Kabupaten Sukabumi mengikuti pola cosinusoidal. Prediksi kasus malaria tinggi pada bulan Januari hingga Maret kemudian mengalami penurunan pada bulan April sampai September sedangkan pada bulan Oktober hingga Desember mengalami peningkatan. Kondisi ini diduga akibat pengaruh pola annual dan curah hujan di Kabupaten Sukabumi. Curah hujan yang rendah terjadi pada bulan Mei hingga Agustus. Kondisi ini mempengaruhi tempat perindukan vektor malaria. Luasan perindukan vektor malaria menjadi semakin kecil. Sedangkan pada bulan November hingga Februari, Kabupaten Sukabumi memiliki jumlah curah hujan yang relatif lebih tinggi dibandingkan bulan yang lainnya. Hal ini menyebabkan semakin luas pula tempat perindukan vektor malaria. Pengaruh pola annual suhu udara rata-rata terhadap prediksi kasus di Kabupaten Sukabumi relatif kecil. Kondisi ini disebabkan oleh pengaruh suhu udara terhadap metabolisme dan transmisi Plasmodium sp. Ke tubuh manusia (Teklehaimanot et al., 2004). Perubahan suhu harian (maksimum maupun minimum) mempengaruhi jumlah infeksi nyamuk terhadap Plasmodium sp. menuju manusia. Perubahan suhu harian juga mempengaruhi proporsi potensial transmisi Plasmodium sp. dari nyamuk terhadap manusia secara berkesinambungan/ dinamik (Smith et al., 2004). Sebaran kasus prediksi di Kabupaten Sukabumi tahun 2004 sebagian besar terpusat di pantai bagian barat Kabupaten Sukabumi. Kondisi ini disebabkan oleh suhu rata-rata (27°C) daerah tersebut merupakan suhu optimum (25°C-27°C) untuk metabolisme dan perkembangan nyamuk (Sukowati, 2004). Daerah pantai juga memiliki tempat perindukan nyamuk yang lebih luas dibandingkan dengan sungai di daerah pengunungan. Lagoon dan muara sungai di sekitar pantai menjadi tempat utama perindukan nyamuk. Kondisi pengambilan data kasus malaria tiap puskesmas mempengaruhi keakuratan model prediksi malaria. Dari model tersebut, sebagian besar daerah bagian utara dan timur Kabupaten Sukabumi memiliki jumlah kisaran kasus prediksi antara 0-10 jumlah penderita malaria tiap desa di wilayah kerja puskesmas (WKP). Hal ini disebabkan pengambilan data di daerah pantai secara ACD (Active Case Detection) dan di daerah utara dan timur Kabupaten Sukabumi secara PCD (Passive Case Detection). ACD lebih akurat dibandingkan PCD, karena pengambilan data berdasarkan survey langsung secara teratur di WKP dengan mengambil data kesediaan darah di masing-masing puskesmas (Wibowo, 2005). Sebaran kasus prediksi malaria bulan Januari umumnya menyebar di zona risiko tinggi.

Integrasi Model Spasial Berdasarkan Unsur Lingkungan dan Unsur Cuaca

Integrasi model spasial bertujuan untuk menghasilkan informasi spasial kasus positif malaria berdasarkan parameter–parameter lingkungan dan unsur cuaca di Kabupaten Sukabumi. Integrasi model spasial tersebut dapat dilihat dari algoritma identifikasi factor lingkungan dan integrasi faktor cuaca. Factor faktor tersebut dikombinasikan dengan menggunakan Boolean Operator pada sistem koordinat kartesius.
Hasil integrasi tersebut menunjukkan sebaran zona risiko lonjakan kasus tiap bulan di Kabupaten Sukabumi (Gambar 7.). Sebaran lonjakan kasus setiap bulan dengan konsentrasi terbesar terjadi pada bulan April hingga September. Kondisi ini diduga akibat jumlah curah hujan yang relatif rendah (musim kemarau) memperluas tempat perindukan malaria, seperti laguna. Suhu udara yang relatif tinggi, menyebabkan metabolisme meningkat cepat; sehingga populasi nyamuk meningkat. Perubahan sebaran kasus tinggi luasan zona risiko terjadi pada bulan April dan Agustus. Hal ini disebabkan karena pengaruh lonjakan kasus terjadi pada masa perahlian musim kemarau dan musim hujan

Penyebaran zona risiko tinggi terhadap lonjakan kasus (high risk) di Kabupaten Sukabumi terkonsentrasi di daerah pantai. Hal ini juga dipengaruhi oleh kondisi lingkungan di daerah tersebut. Daerah tersebut memiliki kemiringan lereng (slope) yang landai (0-10%). Penggunaan lahan juga sebagian besar berupa sungai, lagoon maupun hutan (manggrove) sebagai tempat perindukan dan habitat nyamuk.

Kesimpulan


Klasifikasi penutupan lahan di Kabupaten Sukabumi berperan dalam penentuan tempat perindukan dan habitat nyamuk. Penyebaran kerapatan kasus di daerah habitat nyamuk berbanding lurus terhadap luasan pemukiman pada jelajah nyamuk 1 mil. Sedangkan hubungan kerapan kasus di daerah habitat nyamuk pada jelajah 2-3 mil tidak berkorelasi terhadap luasan pemukiman di daerah tersebut. Hal ini disebabkan oleh kontak langsung antara manusia dan nyamuk semakin berkurang, akibat semakin jauh jarak antar pemukiman dan tempat perindukan. Pengaruh sosial-ekonomi dan migrasi diduga juga lebih dominan mempengaruhi jumlah kasus di daerah perindukan nyamuk.
Klasifikasi peta lingkungan membantu penentuan zona risiko malaria berdasarkan kondisi lingkungan tempat perindukan di Kabupaten Sukabumi. Klasifikasi altitude,slope dan LandUsed memberikan pengaruh masing-masing 46%, 31% dan 23% terhadap penentuan zona risiko malaria. Pemodelan zona risiko malaria secara signifikan menunjukkan kerapatan kasus malaria. Sebaran kerapatan kasus malaria terpusat di zona risiko tinggi dengan korelasi sebesar 0,964.
Model regresi Poisson PDL dengan 6 laguntuk suhu udara dan 7 lag untuk curah hujan secara signifikan (r = 0,898) mempengaruhi jumlah kasus positif malaria di Kabupaten Sukabumi. Hal ini disebabkan oleh pengaruh suhu udara rata-rata yang mempengaruhi metabolisme dan perkembangan nyamuk serta curah hujan yang mempengaruhi luasan tempat perindukan nyamuk. Sebaran kasus prediksi malaria secara signifikan dipengaruhi juga oleh zona risiko malaria. Hal ini ditunjukkan oleh sebaran kasus prediksi yang terpusat di zona risiko tinggi malaria. Keakuratan model prediksi dipengaruhi oleh sifat pengambilan data kasus positif malaria secara PCD dan ACD. Hal ini membantu untuk mereduksi model error di daerah Kabupaten Sukabumi. Sedangkan sifat multikolininearitas antar lag unsur suhu udara dan curah hujan di Kabupaten Sukabumi tidak direduksi. Hal ini disebabkan oleh kemiripan data unsur suhu udara rata-rata yang relatif hampir sama di Kabupaten Sukabumi.
Keakuratan model prediksi kasus malaria juga dipengaruhi oleh data penyebaran nyamuk dapat mempresentasikan kejadian kasus di daerah tersebut. Penambahan faktor sosial-ekonomi, pertumbuhan penduduk, fasilitas kesehatan dan pengaruh transmisi Plasmodium sp. dari nyamuk ke manusia dan dari manusia ke nyamuk; akan menambah keakuratan model prediksi kasus malaria untuk menjelaskan sebaran kasus sebenarnya. Terkait dengan aplikasi dari model ini, maka peringatan dini dapat dilakukan 1-1.5 bulan sebelum terjadinya lonjakan kasus malaria tinggi (high risk) berdasarkan data curah hujan dan suhu udara